gaya bangunan terutama untuk tempat tinggal khas jawa
MenurutKamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Joglo adalah gaya bangunan untuk tempat tinggal khas daerah Jawa yang atapnya menyerupai bentuk trapesium. Bagian-bagian rumahnya punya filosofi masing-masing. Strukturnya pun terbagi menjadi beberapa bagian dan didesain tak sembarang.
TiangPenyangga Desain Rumah Bergaya Tradisional Jawa Furniture Kayu Saat ini banyak sekali rumah yang dibangun dengan memadukan rumah bergaya tradisional Jawa. Oleh karena itu ada beberapa ciri desain rumah tradisional Jawa yang harus diperhatikan dengan baik. Supaya rumah yang dibangun dapat sesuai dengan keinginan.
Meskimengalami banyak penyesuaian, gaya rumah adat Jawa Tengah masih kerap diadopsi dalam pembangunan tempat tinggal maupun bangunan lain. Baca juga: 7 Kuliner Jawa Tengah, Langka Ditemui di Jakarta. Menarik untuk dipelajari, berikut adalah beberapa jenis rumah adat dari Jawa Tengah serta ciri khas dan keunikannya.
Rumahadat Sulawesi Selatan adalah tempat tinggal sekaligus bangunan yang memiliki filosofi turun-temurun dan nilai luhur sebagai gambaran kepercayaan masyarakat setempat. Baca juga: Rumah Tambi, Rumah Adat Sulawesi Tengah. Dengan arsitektur dan gaya bangunan yang khas, berikut adalah beberapa rumah adat Sulawesi Selatan yang bisa kita kenali. 1.
CandiJolotundo adalah Obyek wisata peninggalan sejarah yang berada di Dukuh Balekambang, Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Mojokerto, Jawa Timur. Candi Jolotundo, merupakan bangunan Patirtan peninggalan Raja Udayana dari Bali diperuntukan bagi Raja Airlangga setelah dinobatkan menjadi Raja Sumedang Kahuripan.
concern for the environment is now at the. Bagi kamu yang tertarik untuk menciptakan unsur Jawa pada rumahmu, sebaiknya ketahui dulu 5 ciri khas rumah Jawa berikut ini beserta filosofinya! Arsitektur minimalis semakin banyak diterapkan di hunian masa kini. Bukan tanpa alasan, rumah minimalis memang menciptakan kesan modern dan cenderung mudah untuk diaplikasikan. Apalagi jika dibandingkan dengan arsitektur rumah tradisional seperti rumah Jawa. Proses pembuatannya tak boleh sembarangan dan harus penuh perhitungan. Sebab, setiap letak, arah, dan posisi, memiliki maknanya sendiri. Salah-salah dalam menerapkannya, maka makna serta filosofinya bisa keliru pula. Tak bisa dipungkiri, hal ini lah yang membuat banyak orang tak lagi menerapkan arsitektur rumah tradisional pada hunian mereka. Padahal, kamu juga bisa loh menerapkan beberapa unsur tradisional pada rancangan hunianmu. Tak harus mengikuti semua detail-nya, setidaknya ciri khas dan filosofi yang terdapat pada rumah Jawa tetap ada. Bagi kamu yang tertarik untuk menciptakan unsur Jawa pada rumahmu, sebaiknya ketahui dulu 5 ciri khas rumah Jawa berikut ini beserta filosofinya! 5 ciri khas rumah adat Jawa yang selalu ada 1. Ciri ciri rumah adat Jawa yang sering ada adalah ada teras dan pendopo Sumber RomaDecade Seperti rumah modern, rumah adat Jawa juga memiliki teras pada bagian terdepan rumah. Ada pula pendopo yang digunakan pemilik rumah untuk menyambut tamu yang datang. Bentuk teras dan pendopo khas Jawa biasanya tidak memiliki pembatas. Secara filosofi, konsep ini merupakan perwujudan kerukunan masyarakat Jawa. Pembatas yang dihilangkan melambangkan sikap keterbukaan tuan rumah kepada siapa saja yang datang. 2. Ciri ciri rumah adat Jawa selanjutnya adalah adanya Pringgitan Sumber Rumah Joglo Limasan Pringgitan merupakan ruang penghubung pendopo dengan ruang utama di rumah. Pada zaman dahulu, Pringgitan dibuat sebagai tempat pertunjukan wayang kulit saat ada acara-acara besar. Namun di rumah modern, Pringgitan bisa diaplikasikan sebagai ruang keluarga, atau ruang untuk melakukan aktivitas bersama. 3. Krobongan, salah satu ciri khas rumah daerah Jawa Sumber Naufal Yudhistira Krobongan adalah ruangan paling istimewa dalam rumah Jawa. Dahulu, ruangan ini berfungsi sebagai ruangan untuk menyimpan benda-benda pusaka. Kegiatan-kegiatan sakral seperti doa kepada Tuhan atau semedi juga dilakukan di ruangan ini. Bagi masyarakat Jawa, ruang untuk beribadah harus tersedia dalam sebuah hunian. Apabila diimplementasikan pada rumah masyarakat modern, ruangan ini bisa berupa musala untuk umat Muslim, atau tempat sembahyang untuk agama lainnya. 4. Dalem ageng, bagian di rumah Jawa yang harus ada Sumber Jejahbocahilang Dalem ageng adalah kamar. Ruangan ini merupakan bagian terpenting dalam rumah tradisional Jawa, dan sudah masuk ke bagian privat/pribadi. Pada rumah tradisional yang benar-benar kental, kamar dibagi tiga, untuk orang tua, anak laki-laki, dan anak perempuan. Pemisahan kamar ini dianggap sangat penting karena dalam budaya Jawa, pria dan wanita dibedakan kedudukan dan perlakuannya. Namun di rumah modern, kamar anak biasanya dibuat sama dan tidak dibedakan berdasarkan gender. 5. Gandhok, pawon, pekiwan Sumber Sulaiman Channel Dalam rumah tradisional khas Jawa, kedua ruangan ini selalu berada di paling belakang. Gandhok merupakan ruangan belakang yang memanjang di sisi dalem ageng dan pringgitan. Pawon adalah dapur, dan pekiwan adalah toilet. Ruangan tersebut biasanya dibuat terpisah dari ruangan lainnya yang dianggap suci. Untuk desain sendiri, ketiga ruangan tersebut tak memiliki patokan tata letak khusus karena kegiatan yang dilakukan di dalamnya, seperti makan, atau buang air, dianggap bukan sesuatu yang penting. Itu dia ciri khas rumah Jawa yang bisa kamu aplikasikan di rumahmu. Untuk menghasilkan desain hunian yang otentik, kamu bisa mengikuti ciri khas di atas. Untuk artikel seputar rumah tradisional lainnya, simak di
Rumah jika diartikan ke dalam bahasa Jawa halus biasa disebut dengan griya atau dalem. Griya berasal dari kata gunung agung yang diartikan oleh masyarakat Jawa sebagai gunung besar sebagai sumber kehidupan, sedangkan dalem diartikan sebagai rumah atau saya. Sehingga terdapat keterkaitan antara rumah dan pribadi budaya Jawa, rumah merupakan hubungan yang memiliki keterkaitan antara manusia dengan alam. Hal ini membuat bentuk dan isi di dalam rumah memiliki nilai-nilai yang filosofis dengan alam sekitar. Bahkan dalam pembuatan rumah Jawa, memiliki unsur-unsur yang berupa tata ruang, ornamen dan bentuk arsitektur Jawa juga dikenal cukup pandai untuk meredam gempa. Hal ini ditunjukkan dari bentuk atap bangunan menggunakan tritisan yang lebar untuk melindungi halaman yang ada dibawahnya. Arsitektur seperti ini sangatlah cocok untuk daerah yang memiliki iklim dan sering terjadi yang mempelajari bangunan masyarakat Jawa disebut dengan Ilmu Kalang atau disebut juga Wong Kalang. Terdapat 5 macam bangunan pokok arsitektur Jawa yaitu1. Panggang pe Studio7Merupakan bangunan yang hanya memiliki atap sebelah bagian saja. Hal ini pada jaman dahulu digunakan sebagai tempat untuk begadang atau pos ronda pada saat ini, akan tetapi mampu diaplikasikan sebagai atap sebuah rumah KampungMerupakan dengan atap dua sisi pada bangunan dan sebuah bubugan di tengahnya. Umumnya digunakan sebagai tempat tinggal masyarakat seperti halnya menjadi konsep rumah pada saat Limasan bangunan yang memiliki empat sisi atap dengan bubugan yang terdapat di tengah atap. Limasan juga biasanya digunakan sebagai tempat tinggal masyarakat Jawa yang memiliki emperan pada setiap sisi Joglo atau TikelanMerupakan bangunan dengan Soko Guru dengan atap bangunan empat sisi dan sebuah bubugan ditengahnya. Jenis bangunan ini biasanya digunakan sebagai pendopo atau rumah tinggal bagi kaum bangsawan. melayani Jasa Desain dan Konstruksi untuk proyek Arsitektur, Interior dan Furniture secara offline maupun online untuk seluruh kota di Indonesia. Untuk info pemesanan dan konsultasi desain silakan hubungi kamiTelephone 021 5083 5525Call/WA 082190007017 / 081282868677LinkedIn Studio7 Design and Build Instagram info
Keraton Yogyakarta yang kini lebih dikenal sebagai destinasi wisata adalah museum hidup yang menunjukkan fungsi sebagai tempat tinggal Raja, pusat pemerintahan kerajaan dan sebagai pusat kebudayaan yang terdiri dari bangunan-bangunan bergaya tradisional Jawa yang sangat penting artinya. Sebagai bangunan cagar budaya yang dilindungi undang-undang dan sebagai warisan budaya bangsa, bangunan Keraton Yogyakarta memiliki karakteristik dan keistimewaan, antara lain usianya yang sudah lama, kerumitan konstruksi dan keindahan ornamennya. Berlatar belakang hal itulah penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik bangunan keraton dan dilakukan sesuai dengan adat dan tatalaku yang terjadi di keraton Yogyakarta. Kajian terhadap Struktur Bangunan Tradisional Jawa yang terdapat di komplek Keraton Yogyakarta, khususnya bangunan bangsal Kencana perlu dilakukan dengan cara mendata keberadaan bangunan Tradisional Jawa, mengenali bentuk bangunan, sejarah, fungsi dan struktur bangunan serta kelengkapan komponennya. Kajian dilakukan dari hasil observasi, studi literatur, wawancara dan kajian hasil penelitian terdahulu. Hasil yang didapatkan adalah dokumen tertulis tentang aspek sejarah, fungsi dan struktur bangunan disertai gambar-gambar bentuk bangunan dan gambar-gambar detail yang menunjukkan keunikan struktur bangunan. Kajian ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan dan pedoman pelestarian bangunan Tradisional Jawa serta menjadi inspirasi pengembangan budaya pada masa depan yang bersumber dari budaya lokal, dan menjadi pendorong generasi muda untuk tetap mencintai budaya sendiri denganmengembangkan citra Arsitektur may be subject to copyright. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 44 SINEKTIKA Jurnal Arsitektur, Vol. 16 No. 1 Januari 2019 KAJIAN STRUKTUR BANGUNAN TRADISIONAL JAWA PADA BANGSAL KENCANA KERATON YOGYAKARTA Padmana Grady Prabasmara Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur Universitas Widya Mataram Yogyakarta Satrio HB Wibowo Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur Universitas Widya Mataram Yogyakarta satriohb Tri Yuniastuti Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur Universitas Widya Mataram Yogyakarta triyuni3 ABSTRAK Keraton Yogyakarta yang kini lebih dikenal sebagai destinasi wisata adalah museum hidup yang menunjukkan fungsi sebagai tempat tinggal Raja, pusat pemerintahan kerajaan dan sebagai pusat kebudayaan yang terdiri dari bangunan-bangunan bergaya tradisional Jawa yang sangat penting artinya. Sebagai bangunan cagar budaya yang dilindungi undang-undang dan sebagai warisan budaya bangsa, bangunan Keraton Yogyakarta memiliki karakteristik dan keistimewaan, antara lain usianya yang sudah lama, kerumitan konstruksi dan keindahan ornamennya. Berlatar belakang hal itulah penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik bangunan keraton dan dilakukan sesuai dengan adat dan tatalaku yang terjadi di keraton Yogyakarta. Kajian terhadap Struktur Bangunan Tradisional Jawa yang terdapat di komplek Keraton Yogyakarta, khususnya bangunan bangsal Kencana perlu dilakukan dengan cara mendata keberadaan bangunan Tradisional Jawa, mengenali bentuk bangunan, sejarah, fungsi dan struktur bangunan serta kelengkapan komponennya. Kajian dilakukan dari hasil observasi, studi literatur, wawancara dan kajian hasil penelitian terdahulu. Hasil yang didapatkan adalah dokumen tertulis tentang aspek sejarah, fungsi dan struktur bangunan disertai gambar-gambar bentuk bangunan dan gambar-gambar detail yang menunjukkan keunikan struktur bangunan. Kajian ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan dan pedoman pelestarian bangunan Tradisional Jawa serta menjadi inspirasi pengembangan budaya pada masa depan yang bersumber dari budaya lokal, dan menjadi pendorong generasi muda untuk tetap mencintai budaya sendiri dengan mengembangkan citra Arsitektur Nusantara. KATA KUNCI struktur, tradisional jawa, bangsal, fungsi, Keraton Yogyakarta PENDAHULUAN Keraton Kasultanan Yogyakarta yang berada di pusat kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, berdiri pada tahun 1755 sebagai hasil dari perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 antara Pangeran Mangkubumi; adik Sunan Pakubuwono II, raja Keraton Surakarta, dengan pihak Kolonial Belanda. Menurut Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta, 2003 dan dari berbagai sumber diketahui bahwa puncak dari wujud visual arsitektur keraton Yogyakarta terjadi di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VIII 1921-1939 seperti yang dapat kita lihat sekarang ini. Sebelumnya bangunan keraton terbangun secara bertahap yang dilakukan oleh raja-raja yang berkuasa pada jamannya mulai dari bangsal Prabayaksa dan Siti Hinggil Lor tahun 1769; bangsal Pagelaran dengan tratag bambu di tahun 1896; penggunaan marmer dari Italia untuk bangsal Kencana di masa Sri Sultan Hamengkubuwono VI dan bangsal Manis serta kompleks Siliran di masa Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Di dalam Keraton Yogyakarta, arsitektur Tradisional Jawa merupakan gaya arsitektur yang pokok atau utama. Hal tersebut dapat dilihat dengan banyaknya bangunan-bangunan yang bergaya Tradisional Jawa di dalam komplek keraton, sebagaimana juga dikemukakan dalam Kratons of Java 1991 bahwa bangunan-bangunan paling penting di keraton menggunakan atap joglo yang terbentuk dari bentuk-bentuk piramid dan trapesium. Demikian juga dikemukakan oleh Eko Punto Hendro G., dalam Tri Yuniastuti dan Satrio HB Wibowo 2007 bahwa ditinjau dari atapnya, bangunan-bangunan di keraton menggunakan atap pelana, limasan, tajug dan joglo. Salah satu bentuk bangunan di lingkungan Keraton Yogyakarta yang menjadi kekhasan arsitektur Tradisional Jawa adalah bangunan bangsal. Bangunan tersebut bersifat terbuka pendapa. Dari hasil pengamatan selama ini tercatat setidaknya terdapat 20 bangunan berbentuk bangsal di dalam keraton yang berciri khaskan bangunan rumah tradisional Jawa asli, seperti bangsal Kencana, bangsal Sri Manganti, bangsal Ponconiti, bangsal Manguntur Tangkil, bangsal Witono, bangsal Magangan, bangsal p-ISSN 1411-8912 e-ISSN 2714-6251 Padmana Grady Prabasmara, Satrio HB Wibowo,Tri Yuniastuti SINEKTIKA Jurnal Arsitektur, Vol. 16 No. 1 Januari 2019 45 Kesatriyan, bangsal Trajumas, bangsal Kemandungan, dalem Ksatriyan, dalem Prabayaksa, Kraton Kilen dan bangunan lainnya dengan masing-masing fungsi yang berbeda. Secara khusus bangunan-bangunan bangsal bergaya Tradisional Jawa digunakan sebagai tempat dengan fungsi-fungsi utama atau penting dalam keraton. Karakteristik bangunan-bangunan bangsal di keraton dengan gaya Tradisional Jawa dengan berbagai kelengkapannya menjadi hal yang unik, langka dan bernilai sejarah yang tinggi. Keunikan dan kelangkaannya mengingat bahwa hanya di Keraton Yogyakarta saja bangunan-bangunan itu berada dan lestari. Bahkan pengembangan tipologi joglo dengan klasifikasi tertinggi yaitu joglo lambang gantung yang dikembangkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I juga hanya terdapat di Keraton Yogyakarta. Selain itu juga bernilai sejarah mengingat bahwa bangunan-bangunan bergaya Tradisional Jawa di keraton dibangun oleh raja-raja Jawa sejak ratusan tahun silam yang mewakili kebesaran dan keindahan pada zamannya. Kini bangunan-bangunan tersebut menjadi warisan cagar budaya yang tak ternilai harganya dikarenakan merupakan akar budaya Jawa dan bangsa Indonesia pada umumnya dan akar arsitektur Indonesia pada khususnya. TIPOLOGI ARSITEKTUR TRADISIONAL JAWA JOGLO Tipologi Joglo memiliki 8 delapan varian yaitu Joglo Pokok, Limasan Lawakan, Sinom, Jompongan, Pangrawit, Mangkurat, Hageng dan Semar Tinandu. Masing-masing tipologi tersebut, setidaknya harus memiliki ciri-ciri atap terdiri 4 buah soko guru dengan pe-midangannya ulengnya dan memiliki blandar tumpang sari, sebuah bubungan di tengahnya. Rumah bentuk joglo merupakan bentuk rumah tradisional Jawa yang paling sempurna yang hanya dimiliki oleh kalangan orang-orang mampu atau orang-orang terpandang. Secara substansif, joglo didesain untuk pendapa yang letaknya di bagian depan dan bukan difungsikan untuk tempat tinggal dikarenakan dalam paham Jawa bangunan di depan tidak layak untuk tempat tinggal yang bersifat privat. Hal-hal lain yang mendukung kelayakan fungsi joglo sebagai pendapa adalah ruangnya yang luas sehingga ideal digunakan untuk kegiatan pertemuan-pertemuan. Beberapa tipologi bangunan tradisional Jawa Joglo dapat dilihat pada gambar 1. Konstruksi bangunan adalah suatu hubungan antar komponen-komponen bangunan meliputi pondasi lantai, dinding, tiang, balok, langit-langit, dan atap, dengan hubungan saling ketergantungan dengan tujuan menunjang kegunaan atau fungsi, kekuatan, keawetan, dan keamanan Ronald, 1997 449. Gambar 1. Tipologi bangunan Joglo Sumber HJ Wibowo, dkk., 1986/1987 Sistem struktur pada bangunan joglo sangat erat hubungannya dengan konstruksi antar komponen karena secara keseluruhan saling mendukung dan saling berkaitan. Pekerjaan konstruksi dimulai dari komponen paling bawah bangunan, yakni pondasi, kemudian makin ke atas sampai komponen teratas. Perkembangan bentuk joglo berakibat juga berkembangnya sistem struktur dan konstruksinya lihat gambar 2. Bentuk bangunannya semakin unik, semakin besar, semakin luas, membawa konsekuensi pada struktur dan konstruksi yang juga menjadi lebih unik dan rumit Ronald, 1997 281. Gambar 2. Pembagian sektor atap dan komponen rangka Soko Guru Sumber Prijotomo., 2005 Secara fisik arsitektural bangunan-bangunan di kawasan keraton menggunakan langgam tradisional Jawa dengan kekhasan berupa bentuk bangunan pendapa, atap joglo, tajug, limasan dan kampung. Dari karakteristiknya, bangunan-bangunan di keraton terdiri dari bangunan terbuka tanpa dinding penutup dan bangunan tertutup yang dilengkapi dengan dinding gambar 3. Bangunan terbuka di keraton disebut bangsal dan bangunan tertutup disebut sebagai gedhong KPH. Brongtodiningrat, 1978. Gambar 3. Bangsal Kencana di Keraton Yogyakarta Sumber Pengamatan, 2010-2011 Kajian struktur bangunan tradisional Jawa pada bangsal Kencana Keraton Yogyakarta 46 SINEKTIKA Jurnal Arsitektur, Vol. 16 No. 1 Januari 2019 Jenis bangunan lainnya yang terdapat di keraton adalah bangunan yang telah terkena pengaruh arsitektur Eropa. Pengaruh budaya Eropa terhadap bangunan-bangunan di Keraton Yogyakarta mengakibatkan munculnya unsur-unsur arsitektur Klasik Eropa ke dalam komplek keraton dengan munculnya bangunan-bangunan baru bergaya Klasik Eropa, terutama pada bangunan Gedhong dan Regol Tri Yuniastuti dan Satrio HBW, 2007, sebagaimana dapat dilihat pada gambar 4. Gambar 4. Gedhong Purworetno bergaya Arsitektur Eropa Sumber Tri Yuniastuti dan Satrio HBW, 2007 METODE PENELITIAN Lokasi obyek penelitian terletak di dalam komplek Keraton Kasultanan Yogyakarta. Secara administratif termasuk dalam kecamatan Kraton, Kotamadya Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara visual, letak dan gambaran kondisi visual bangunan bangsal keraton Yogyakarta yang akan diteliti pada tahap III ini dapat dilihat pada gambar 5. Gambar 5 . Lokasi Keraton Yogyakarta dan objek penelitian Sumber data diolah Objek penelitian pada tahap ketiga ini adalah bangunan bangsal bergaya arsitektur Tradisional Jawa di dalam komplek Keraton Yogyakarta yang terletak di bagian dalam keraton yang terlarang bagi masyarakat umum atau wisatawan untuk memasukinya. Untuk memasuki dan melakukan penelitian dengan pengamatan, pemotretan dan pengukuran terhadap bangunan dan komponen-komponennya, peneliti telah mendapatkan izin khusus dari pihak yang berwenang, yaitu Tepas Wahono Sarto Kriyo Keraton Yogyakarta. Bangsal-bangsal yang menjadi objek penelitian tahap III ini adalah Bangsal Probayeks, Bangsal Kencana dan Bangsal Manis. Gambar dan foto objek penelitian Sumber pengamatan, 2010 Pengambilan setiap komponen pada setiap bangunan yang diteliti dilakukan dengan menginventaris jenis atau macam kerangka yang sama bentuk, ukuran dan fungsinya. Jika setiap jenis berjumlah lebih dari satu, maka diambil salah satu saja untuk diteliti. Sebagai contoh lihat gambar 7. Gambar 7. Contoh pengambilan sampel komponen bangunan pada Bangsal Kencana Sumber data diolah Metode pengumpulan data dilakukan dengan survey langsung untuk mendapatkan data primer dan survey tidak langsung. Survey langsung untuk mendapatkan data primer dilakukan dengan cara pengamatan atau observasi di lapangan terhadap objek penelitian untuk mendapatkan data secara akurat dengan cara pendokumentasian melalui pengukuran, pengkopian atau penjiplakan obyek, pemotretan maupun pencatatan. Juga dilakukan wawancara dengan pihak yang memiliki data terkait objek penelitian. Kegiatan survey dapat dilihat dalam gambar 8. Padmana Grady Prabasmara, Satrio HB Wibowo,Tri Yuniastuti SINEKTIKA Jurnal Arsitektur, Vol. 16 No. 1 Januari 2019 47 Gambar 8. Kegiatan survey langsung Sumber pengamatan, 2011 Observasi yang dilakukan meliputi pengamatan fisik bangunan, pencatatan ukuran bangunan, panjang dan lebar ruang, tinggi ruang, dimensi kerangka, posisi dan jarak rangka bangunan, dan sebagainya. Pengukuran dilakukan pada keseluruhan bangunan beserta bagian-bagiannya untuk mendapatkan dimensi bangunan secara akurat. Pengambilan data ukuran menggunakan alat bantu, 1 meteran dengan ukuran 50 meter dan 5 meter; 2 penggaris logam 30cm dan 100 cm; 3 penggaris siku-siku; 4 kertas dan alat tulis; 5 tangga aluminium 2 bh; 6 tampar tali besar; dan 7 galah panjang dan pendek. Gambar 9. Kegiatan pengukuran Sumber dokumentasi kegiatan, 2011 Data pengamatan yang didapatkan dari lapangan digambar ulang ke dalam komputer dengan program Auto CAD maupun Corel Draw. Selain itu teknik pemotretan juga dilakukan untuk mendapatkan data visual bagian-bagian bangunan yang diteliti. Hasil pemotretan diolah ke dalam komputer dengan program Adobe Photoshop. Survey tidak langsung untuk mendapatkan data sekunder dilakukan dengan merekam data melalui 1 studi pustaka; 2 survey instansional; dan 3 wawancara. Survey ini bertujuan untuk mendapatkan data pendukung keberadaan objek. Data yang dicari berupa karakteristik fisik bangunan meliputi bentuk bangunan maupun bagian-bagian bangunan, sejarah bangunan, filosofi bangunan, fungsi bangunan, ornamen dan filosofinya, tata ruang bangunan, hingga bentuk-bentuk pelestarian bangunan cagar budaya pada bangunan. Kegiatan studi pustaka dilakukan untuk memperoleh data terkait objek penelitian dari dokumen penelitian yang telah dilakukan. Wawancara ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan keberadaan bangunan di Keraton Yogyakarta, yaitu Pengageng Tepas Wahono Sarto Kriyo Keraton Yogyakarta sebagai pengelola bangunan keraton, pemandu wisata, para abdi dalem, dan pemerhati bangunan bersejarah di Yogyakarta. Wawancara dilakukan secara langsung dengan narasumber, dicatat dan direkam dengan alat rekam digital. Wawancara dimaksudkan untuk memperoleh data fungsi bangunan, perlakuan khusus terhadap bangunan, bentuk pelestarian yang pernah dilakukan, riwayat bangunan, bentuk-bentuk perlindungan terhadap bangunan bersejarah, filosofi bangunan, filosofi ragam hias, kedudukan serta upacara-upacara ritual di dalam bangunan dan filosofinya. Analisis dilakukan dalam tiga tahap yaitu analisis informasi, proses penafsiran dan penyimpulan hasil. Proses analisis informasi dilakukan dengan 1 memaparkan secara keseluruhan karakteristik arsitektur bangunan dan bagian-bagian obyek penelitian secara kuantitatif dan kualitatif; 2 melakukan interpretasi terhadap informasi data yang ada. Interpretasi dilakukan terhadap bentuk bangunan, proporsi, ragam hias, dan aspek-aspek karakteristik, ciri khas, estetika, filosofi dan sebagainya. Proses penafsiran dilakukan melalui 1 penyelidikan atau kajian terhadap hasil intepretasi data; 2 penyelidikan atau kajian terhadap nilai-nilai ukuran bangunan, struktur dan konstruksi, dan ornamen; 3 penyelidikan atau kajian terhadap nilai-nilai arsitektural dari sisi fungsi, estetika, gaya bangunan, struktur konstruksi, kesejarahan, keunikan dan kelangkaan maupun keselamatan bangunan. Keseluruhan proses penafsiran dilakukan dengan dukungan teknik korelasi dan komparasi sehingga diperoleh hasil analisis yang akurat. Korelasi dilakukan dengan menghubungkan berbagai sudut pandang, misalnya tentang kebesaran kerajaan dengan nilai bangunan, fungsi bangunan dengan pemakaian jenis ragam hias, usia bangunan dengan kondisi bahan bangunan, struktur dan konstruksi Kajian struktur bangunan tradisional Jawa pada bangsal Kencana Keraton Yogyakarta 48 SINEKTIKA Jurnal Arsitektur, Vol. 16 No. 1 Januari 2019 dengan dampak gempa dan sebagainya. Komparasi dilakukan terhadap beberapa bangunan lain yang sejenis untuk mendapatkan nilai karasteristik objek yang diteliti. Gambar 10. Proses penelitian Sumber dokumentasi kegiatan, 2011 HASIL PENELITIAN Tipologi bangunan Kajian tipologi bangunan Bangsal Kencana di halaman Kedhaton dilihat dari sisi jenis atap terdiri atas dua tipologi Joglo Lambang Gantung. Bangsal Kencana merupakan bangunan joglo yang terbesar, terindah, termegah, di antara joglo-joglo yang ada di dalam komplek Keraton Yogyakarta. Bangunan di dalam Keraton yang semakin tinggi status fungsinya, maka bangunan itu dibuat semakin indah. Atap Bangsal Kencana bersusun tiga, terdiri dari atap yang posisinya paling atas adalah atap utama yaitu atap brunjung, di bawahnya adalah atap penanggap, dan yang paling bawah dan terakhir adalah atap penitih. Bangunan Bangsal Kencana ini merupakan bangunan rumah tradisional Jawa yang tergolong dalam kelompok joglo lambang gantung karena atap penaggapnya menggantung pada atap brunjung. Sambungan atap penanggap terhadap atap penitihnya merupakan bentuk sambungan atau susunan atap lambang sari. Kolom atau tiangnya juga terdiri dari tiga macam, yaitu dimulai dari tiang utama yang menyangga atap brunjung disebut saka guru, tiang yang menyangga atap penanggap disebut sakapenanggap, dan tiang yang menyangga atap penitih disebut saka penitih. Balok lainnya yang posisinya diagonal adalah dudur dan usuk atap penanggap dan dudur dan usuk atap penitih. Dudur kedua atap dihias penuh dengan motif lung-lungan, sedang masing-masing usuk kedua atap itu dihias lung-lungan pada sisi bawah bagian ujung atas dan sisi bawah ujung bawah. Seluruh sisi tiang dan balok rangka yang tampak, dihias dengan motif-motif, dicat dengan bahan perada emas dan warna dasar relief merah. Warna dasar rangka bangunan Bangsal Kencana dicat warna gelap, yakni hitam kecoklatan, sehingga seluruh ornamennya tampak kontras terhadap warna dasar rangka bangunannya. Jumlah susunan balok-balok rangka di daerah pemidhangan atau area di antara blandar-pengeretbrunjung sangat banyak dan padat, begitu juga ornamen-ornamennya, sehingga menghasilkan efek memfokuskan penglihatan di antara seluruh ruang bangunan Bangsal Kencana. Fokus penglihatan, atau dapat disebut dengan istilah center of interest, digiring oleh hiasan-hiasan yang berada di luar area pemidhangan, dimulai dari area penitih terus ke area penanggap, dan menuju area paling tengah yaitu pemidhangan. Bentuk dasar saka guru, saka penanggap dan saka penitih adalah balok empat persegi panjang, sehingga memiliki empat buah sisi tegak dengan masing-masing sisi untuk semua jenis saka tersebut dihiasi motif-motif ornamen yang sejenis. Tata letak ornamen dan macamnya yang terdapat pada setiap saka guru, saka penanggap dan saka penitih adalah sama. Perbedaannya adalah pada ukuran setiap jenis motif pada setiap jenis tiang yang sangat tergantung pada perbedaan panjang pendeknya ukuran setiap jenis tiang atau saka. Perbedaan ukuran tiang atau saka mengakibatkan perbedaan ukuran motif-motif hiasan pada setiap jenis saka. Ukuran motif hias pada saka guru lebih besar dan lebih panjang atau lebih tinggi bila dibanding dengan ukuran motif-motif yang ada pada saka penanggap, begitu pula bila dibandingkan dengan ukuran motif-motif pada saka penitih. Saka totol berbentuk dasar silender, berfungsi untuk membantu menyangga blandar penitih, oleh karena itu masing-masing saka totol didirikan di antara dua buah saka penitih. Padmana Grady Prabasmara, Satrio HB Wibowo,Tri Yuniastuti SINEKTIKA Jurnal Arsitektur, Vol. 16 No. 1 Januari 2019 49 Atap Brunjung berbentuk prisma segi empat, terletak di tengah bangunan sebagai puncak atap. Atap Penanggap menggantung pada saka bentung disetiap sudut Atap Penitih mengelilingi atap Penanggap, Atap Tratag berbentuk Limasan. Terletak di sisi Timur dan Barat Lebih tinggi dari atap penitih Atap Emper terletak di sisi utara dan selatan bangsal Lebih tinggi dari atap penitih Usuk Brunjung tertutup Balok Uleng dan langit-langit pemidangan Usuk Penanggap disusun seperti rangka payung menumpang di antara balok gantung dan balok penanggap. Usuk Penitih disusun seperti rangka payung menumpang di antara balok penanggap dan balok penitih. Usuk Tratag tidak kelihatan, tertutup plafon yang dipasang Usuk Emper tidak kelihatan, tertutup plafon yang dipasang 1. Dada Peksi 2. Balok Uleng 3. Balok Blandar 4. Balok Sunduk/Kili Balok Gantung Balok Blandar Penanggap 1. Balok Blandar Penitih 2. Balok Listplank 1. Penutup plafon 2. Tiang besi 3. Penutup talang 1. Penutup talang 2. Tiang besi 3. Penutup plafon 1. Bagian brunjung 2. Bagian Penanggap 3. Bagian Penitih 4. Bagian Tratag dan Emper 5. Bagian kuncung Kajian struktur bangunan tradisional Jawa pada bangsal Kencana Keraton Yogyakarta 50 SINEKTIKA Jurnal Arsitektur, Vol. 16 No. 1 Januari 2019 Saka Saka Totol Penanggap Saka penyangga Tratag Besi bulat Umpak Saka guru Berbentuk Trapesium Berpenampang segi empat Umpak Saka Penanggap Sama bentuk, ukuran lebih kecil dari umpak saka guru Umpak saka Penitih Sama bentuk, ukuran lebih kecil dari umpak saka penanggap Tidak terdapat Umpak Saka besi di bagian tratag, hanya pembesaran dimensi pada dasar tiang, Padmana Grady Prabasmara, Satrio HB Wibowo,Tri Yuniastuti SINEKTIKA Jurnal Arsitektur, Vol. 16 No. 1 Januari 2019 51 KESIMPULAN Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bangunan di Keraton Yogyakarta, khususnya Bangsal Kencana yang masih asli. Dari kajian ini didapatkan kesimpulan bahwa 1. Bangunan Bangsal Kencana di Keraton Yogyakarta memiliki ciri yang sama, yaitu terbuka dan merupakan bangunan tradirional Jawa dengan tipologi Joglo Lambang Gantung. 2. Tipologi tersebut merupakan yang tertinggi tingkatannya, hal ini disesuaikan dengan fungsi atau penggunaannya untuk kegiatan utama keraton yang melibatkan Sultan. 3. Bangsal Kencana sebagai bangunan dengan fungsi kerajaan paling utama, kemegahan ditunjukkan selain dengan ukuran bangunan dan kerumitan strukturnya, juga dengan ornamen yang banyak dan lengkap dengan finishing yang megah dan menampilkan lambang-lambang kekuasaan. DAFTAR PUSTAKA ______, 1991, Kratons of Java, Indonesia Departemen Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi. Brongtodiningrat, K. 1978. Arti Kraton Yogyakarta. Museum Kraton Yogyakarta. G., Eko Punto. 2001. Kraton Yogyakarta dalam Balutan Hindu. Semarang Bendera Semarang. Prijotomo, J. 1995. Petungan Sistem Ukuran Dalam Arsitektur Jawa. Yogyakarta Gadjah Mada University Press. Ronald, A. 1997. Ciri-ciri Karya Budaya Di Balik Tabir Keagungan Rumah Jawa. Yogyakarta Universitas Atmajaya Yogyakarta. Sukirman. 2011. Ragam Hias Bangsal Witana Sitihinggil Utara Keraton Yogyakarta, Kajian Iconologis. Tesis PascaSarjana Institut Seni Indonesia ISI Yogyakarta. Tri Yuniastuti dan Satrio HB Wibowo . 2007. Pengaruh Arsitektur Klasik Eropa Pada Bangunan Kraton Kasultanan Yogyakarta. Laporan Hasil Penelitian. Tri Yuniastuti, Sukirman dan Satrio HB. 2009. Dokumentasi Bangunan Bangsal Tradisional Kraton Yogyakarta. Laporan Hasil Penelitian Penelitian. Tri Yuniastuti, Sukirman dan Satrio HB. 2010. Dokumentasi Bangunan Bangsal Tradisional Kraton Yogyakarta. Laporan Hasil Penelitian Penelitian. Wibowo, H. 1986/1987. Rumah Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. Dedikbud. Semua Lantai di bangunan utama bangsal Kencana terbuat dari Marmer Lantai di bagian tratag dan emper bangsal Kencana juga berbahan Marmer. ... Selain itu, soko guru berjumlah satu sendiri memiliki makna keesaan dari sang pencipta atau Allah. Sehingga manusia diharakan selalu mengingat kepada Allah [3]- [5]. Hal inilah yang menjadi salah satu dasar mengapa keberadaan Masjid Soko Tunggal di Tamansari, Yogyakarta masih perlu dilestarikan. ...This research was conducted to find mathematical elements in the Soko Tunggal Mosque. The research method used in this study is a qualitative method with an ethnographic approach. The data used in this study were obtained from observations, documentation, and interviews. Observation and documentation are used to identify ethnomathematics in the Soko Tunggal Mosque, while documentation and interviews with the triangulation method to find out more deeply the cultural values that exist in the Soko Tunggal Mosque. From the results of the study found the concept of field geometry in the Soko Tunggal Mosque. Geometry elements identified include triangles, squares, rectangles, rhombus, circles and reflection. So that in learning mathematics on the material triangles, squares, rectangles, rhombus, circles, and reflection can use the context of a Soko Tunggal Hirabayasih MoidadyUmar UmarEvi Sunarti AntuDalam perkembangan arsitektur selalu mendapatkan pengaruh dari budaya yang berkembang padamasa tertentu. Banggai laut merupakan daerah bekas kerajaan yang meninggalkan sebuah bangunanKeraton yang memiliki pengaruh budaya dari jawa. Keraton Banggai yang sekarang lebih dikenal sebagaidestinasi wisata, dulu fungsinya sebagai tempat tinggal raja dan keluarganya. pusat pemerintahan danpusat kebudayaan serta bangunan yang ada pada saat itu memiliki gaya tradisional jawa yang sangatmemiliki arti penting. Keraton Banggai sebagai bangunan cagar budaya yang masih dipertahankan dan dilindungi undang-undang karena sebagai warisan budaya suku bangsa. Penelitian ini bertujuan untukmengetahui bagaimana asal mula bentuk atap dan makna atap pada keraton Banggai. Metode yang digunakanadalah studi literatur dengan cara mengumpulkan data-data berhubungan dengan bentuk asal mula bentuk atapdan maknanya. Diharapkan dengan kajian ini dapat menjadi pengetahuan untuk masyarakat. agar selalu tetapmenjaga pelestarian bangunan dan menjadi pendorong generasi muda untuk selalu mencintai budaya sendiridengan mengembangkan citra Arsitektur Kraton Yogyakarta. Museum Kraton YogyakartaK BrongtodiningratBrongtodiningrat, K. 1978. Arti Kraton Yogyakarta. Museum Kraton Yogyakarta dalam Balutan HinduG Eko PuntoG., Eko Punto. 2001. Kraton Yogyakarta dalam Balutan Hindu. Semarang Bendera Sistem Ukuran Dalam Arsitektur JawaJ PrijotomoPrijotomo, J. 1995. Petungan Sistem Ukuran Dalam Arsitektur Jawa. Yogyakarta Gadjah Mada University Karya Budaya Di Balik Tabir Keagungan Rumah JawaA RonaldRonald, A. 1997. Ciri-ciri Karya Budaya Di Balik Tabir Keagungan Rumah Jawa. Yogyakarta Universitas Atmajaya Yogyakarta. Sukirman. 2011. Ragam Hias Bangsal Witana Sitihinggil Utara Keraton Yogyakarta, Kajian Iconologis. Tesis PascaSarjana Institut Seni Indonesia ISI Tradisional Daerah Istimewa YogyakartaH WibowoWibowo, H. 1986/1987. Rumah Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. Dedikbud.
Arsitektur Arsitektur rumah Jawa dapat ditandai dengan adanya aturan hierarki yang dominan seperti yang tercermin pada bentuk atap rumah. Rumah tradisional Jawa memiliki tata letak yang sangat mirip antara satu dengan lainnya, tetapi bentuk atap ditentukan oleh status sosial dan ekonomi dari pemilik rumah. Arsitektur tradisional rumah Jawa banyak dipengaruhi oleh arsitektur pada zaman kolonial Belanda di Indonesia, gaya arsitektur ini juga sangat berkontribusi pada perkembangan arsitektur modern di Indonesia pada abad ke-20. Sesuai dengan struktur masyarakat Jawa dan tradisinya, rumah-rumah tradisional Jawa diklasifikasikan menurut bentuk atap mereka dari yang terendah ke tertinggi, yaitu Kampung, Limasan, dan Joglo. Rumah Kampung Atap Rumah Kampung diidentifikasikan sebagai rumah dari rakyat biasa. Secara struktural, atap Kampung adalah atap yang paling sederhana. Atap puncak Rumah Kampung bersandar pada empat tiang tengah dan ditunjang oleh dua lapis tiang pengikat. Bubungan atap didukung penyangga dengan sumbu Utara-Selatan yang khas. Struktur ini dapat diperbesar dengan melebarkan atap dari bagian atap yang ada. Rumah Limasan Atap Rumah Limasan digunakan untuk rumah-rumah keluarga Jawa yang memiliki status lebih tinggi. Jenis rumah ini adalah jenis yang paling umum untuk rumah Jawa. Denah dasar empat tiang rumah dapat diperluas dengan menambah sepasang tiang di salah satu ujung atap. Rumah Joglo Atap Joglo adalah bentuk atap yang paling khas dan paling rumit. Atap Rumah Joglo dikaitkan dengan tempat tinggal bangsawan Keraton, kediaman resmi, bangunan pemerintah, dan rumah bangsawan Jawa, atau ningrat. Saat ini pemiliknya tidak lagi terbatas pada keluarga bangsawan, melainkan siapa saja yang memiliki cukup dana untuk membangunnya. Sebab, untuk membangun rumah Joglo dibutuhkan bahan bangunan yang cukup banyak dan mahal. Atap Joglo memiliki beberapa ciri khas yang membedakannya dari 2 jenis atap lainya, yaitu atap utama lebih curam, dan bubungan atap tidak sepanjang rumah Limasan. Di empat tiang utama yang mendukung atap di atasnya terdapat susunan khas berupa tiang-tiang berlapis yang diartikan sebagai Tumpang Sari. Selain itu, jika terjadi kerusakan pada Rumah Joglo, proses perbaikan tidak boleh mengubah bentuk semula. Hal ini dikarenakan orang Jawa percaya, jika melanggar aturan ini akan menimbulkan pengaruh yang kurang baik pada penghuni rumah. Bangunan rumah Tidak berbeda dengan rumah tradisional Bali, rumah Jawa biasanya dibangun dalam suatu kompleks berdinding. Bahan untuk dinding pelindung kompleks rumah dibuat dari batu, bambu, dan kayu diperuntukan untuk rumah orang kaya. Rumah tradisional orang Jawa ideal nya terdiri atas tiga bangunan utama, yaitu Omah, Pendapa, dan Peringgitan. Pendopo Pendopo atau pendapa adalah sebuah paviliun yang terletak di bagian depan kompleks. Tempat ini digunakan untuk menerima tamu, pertemuan sosial, atau pertunjukan ritual. Pendopo menggunakan atap Joglo dan hanya terdapat di kompleks rumah orang kaya. Di beberapa daerah perkotaan yang padat, dinding batu biasanya akan didirikan di sekitar pendopo. Pringgitan Pringgitan adalah ruang yang menghubungkan antara Pendopo dengan Omah. Peringitan merupakan tempat untuk ringgit, yang memiliki arti wayang atau bermain wayang. Pringgitan memiliki bentuk atap Kampung atau Limasan. Omah Omah adalah rumah utama. Kata omah berasal dari Austronesia yang berarti “rumah”. Omah biasanya memiliki tata letak persegi atau persegi panjang dengan lantai yang ditinggikan. Bagian tengah omah menggunakan bentuk atap Limasan atau Joglo. Daerah di bawah atap dibagi oleh bilah-bilah dinding menjadi daerah dalam dan luar. Dalem Dalem adalah bangunan tertutup yang dibagi sepanjang poros Utara dan Selatan menjadi daerah-daerah yang berbeda. Pada model rumah Kampung dan Limasan, pembagian ini digunakan untuk membedakan antara bagian depan dan belakang. Namun, pada rumah Joglo terdapat tiga pembagian yang lebih rumit, antara depan, tengah, dan belakang. Bagian Timur depan Dalem adalah tempat berlangsungnya kegiatan semua anggota keluarga dan tempat semua anggota keluarga tidur pada sebuah ranjang bambu, sebelum pubertas anak-anak. Bagian tengah Dalem rumah Joglo ditegaskan oleh empat tiang pokok. Saat ini, bagian itu tidak lagi memiliki kegunaan khusus namun, secara tradisional daerah ini merupakan tempat pedupaan yang dibakar sekali dalam seminggu untuk menghormati Dewi Sri dewi padi, dan juga merupakan tempat pengantin pria dan wanita duduk pada upacara pernikahan. Senthong Senthong merupakan bagian belakang omah yang terdiri dari tiga ruangan tertutup. Senthong Barat merupakan tempat menyimpan beras dan hasil pertanian lainnya, sementara peralatan bertani disimpan di sisi Timur. Senthong secara tradisional merupakan ruangan yang dihias semewah mungkin atau lebih dikenal sebagai tempat tinggal tetap dari Dewi Sri. Pasangan pengantin baru terkadang tidur di Senthong tengah. Di bagian luar atau belakang kompleks terdapat beberapa bangunan lain seperti dapur dan kamar mandi. Sebuah sumur biasanya ditempatkan di sisi Timur karena, sumur yang berfungsi sebagai penyedia air dianggap sebagai sumber kehidupan dan selalu menjadi hal pertama yang harus diselesaikan ketika membangun sebuah kompleks rumah baru. Jika jumlah anggota keluarga atau kekayaan keluarga bertambah, bangunan-bangunan tambahan gandhok dapat ditambahkan.
- Rumah adat Jawa Tengah merupakan gaya bangunan yang masih sering digunakan hingga saat ini. Nama rumah adat Jawa Tengah ini salah satunya adalah Joglo yang dari segi budaya memiliki filosofi yang mendalam. Walau begitu, ternyata Jawa Tengah masih memiliki beberapa bentuk rumah adat juga Daftar Lagu Daerah Terlengkap dari Aceh hingga Papua Meski mengalami banyak penyesuaian, gaya rumah adat Jawa Tengah masih kerap diadopsi dalam pembangunan tempat tinggal maupun bangunan lain. Baca juga 7 Kuliner Jawa Tengah, Langka Ditemui di Jakarta Menarik untuk dipelajari, berikut adalah beberapa jenis rumah adat dari Jawa Tengah serta ciri khas dan keunikannya. Baca juga Joglo Kelor, Saksi Bisu Perjuangan Tentara Pelajar Melawan Penjajah Rumah Adat Jawa Tengah 1. Rumah adat Joglo Shutterstock/nawara Rumah Joglo DOK. Shutterstock/nawara Nama rumah adat Joglo berasal dari tajug loro yang berarti dua gunung atau juglo. Hal ini identik dengan bentuk atap rumah Joglo yang menyerupai kenampakkan dua gunung. Rumah Joglo memiliki beberapa ruangan seperti pendhapa atau pendopo, pringgitan, dan omah dalem atau omah njero. Bagian unik yang jadi ciri khas rumah adat Jawa Tengah ini adalah adanya 4 tiang di bagian tengah yang disebut soko guru. Meski terlihat sederhana, rumah Joglo dulunya hanya dimiliki oleh kalangan priyayi atau bangsawan karena materialnya yang mahal dan waktu pembuatannya yang memakan waktu lama. 2. Rumah Adat Limasan Dok. Disporapar Provinsi Jawa Tengah Rumah adat Limasan asal Jawa Tengah. Tak hanya Joglo, rumah adat Limasan asal Jawa Tengah juga masih diminati hingga saat ini. Keunikan bangunan ini diambil dari gaya atapnya yang memiliki bentuk limas. Adapun bentuk tubuh bangunananya tetap menggunakan bentuk persegi seperti bangunan lainnya. Sementara tiang penyangga rumah Limasan beragam tergantung pada besar-kecilnya bangunan. Selain itu bentuk bangunan limasan juga sederhana sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang dianut orang Rumah Adat Tajug Dok. Ilustrasi rumah adat Kudus. Konsep rumah adat Tajug digunakan hanya pada bagunan-bangunan tertentu di Jawa Tengah. Sebutan Tajug berasal dari kata Taj atau Taju yang dalam bahasa Arab berarti mahkota. Bangunan rumah adat dari Jawa Tengah yang memiliki atap Tajug biasanya berbentuk persegi. Bangunan Tajug biasanya digunakan sebagai tempat ibadah dan mengadakan kegiatan sakral. 4. Rumah Adat Cakrik atau Panggang Pe Dok. Disporapar Provinsi Jawa Tengah Ilustrasi Joglo dari Jawa Tengah. Jenis rumah adat dari Jawa Tengah ini biasanya digunakan sebagai warung atau tempat berjualan. Melihat fungsinya maka rumah Adat Cakrik atau Panggang Pe memiliki ukuran besar dengan tiang sebanyak enam buah. Tiang bagian depan memiliki ukuran lebih pendek daripada ukuran tiang yang digunakan di bagian belakang. Gaya arsitektur rumah Adat Cakrik atau Panggang Pe yang indah dan elegan masih kerap digunakan hingga saat ini. 5. Rumah Adat Kampung Shutterstock/E. S. Nugraha Rumah Joglo DOK. Shutterstock/E. S. Nugraha Nama rumah adat Kampung berasal dari kata kapung atau katepung yang artinya dihubungkan. Rumah ini digunakan sebagai rumah tinggal biasa dengan bentuk bangunan yang besar. Hal ini karena atap rumahnya dilakukan dengan cara menghubungkan dua bidang atap dan yang menghilangkan komponen kayu lainnya dari bentuk sebelumnya. Keunikan lainnya adalah keberadaan dua buah teras pada bagian depan dan belakang bangunannya. Sementara karena ukurannya yang besar, tiang pada rumah adat Jawa Tengah ini memiliki jumlah kelipatan empat atau minimal delapan. Sumber Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
gaya bangunan terutama untuk tempat tinggal khas jawa